Archive for March, 2014

Narasi Berperikebinatangan

Ayolah, hanya karena sebuah narasi maka publik marah? Ya, bisajadi. Saya ingin mengangkat kasus viral tentang seorang pria yang memposting foto kucing mati dengan kepala pecah, lalu memberi narasi bahwa ia membunuh kucing itu dengan tembakan dari senapannya. Tersirat nuansa bangga dari tindakannya itu. Publik marah, menyumpahinya, menghujatnya, bahkan hendak menuntutnya dengan pasal terkait penyiksaan binatang. Benarkah tindakan publik? Salahkah pria itu? Mari kita teliti.

Saya jelas bukan pecinta binatang yang gemar memelihara hewan peliharaan. Bagi saya binatang dan manusia setara adanya, sama-sama menghuni bumi ini, ada lahir ada mati, hanya kita memiliki kecerdasan dan katakanlah akal budi. Menurut versi agama, Tuhan yang memberi perbedaan itu. Menurut Darwinis, progresi evolusi manusia lah yang menyebabkannya berbeda. Apapun itu, mengacu pada kodrat hidupmati, kita sama dengan binatang.

Mana yang lebih menyedihkan?

1. Seorang milyuner berusia 97 tahun yang meninggal di rumah sakit mewah.

2. Seekor anak kucing yang mati ditembak “pemburu”.

Apapun jawabannya tak masalah, itu pilihan anda. Saya ingin berbicara tentang narasi dan kemampuannya mempengaruhi opini publik kebanyakan. Coba bayangkan seandainya begini:

Saya membeli burung parkit di pasar Pramuka. Sampai di rumah, ia saya masukkan kandang. Esoknya ia mati, mungkin gagal beradaptasi dengan kandang barunya. Lalu saya melakukan salah satu dari dua hal ini:

A. Saya pindahkan bangkai parkit ke teras rumah. Saya foto, lalu saya beri caption/narasi yang isinya “hahaha burung parkit ini lemah, saya beri racun sedikit saja ia langsung mati, Siapa lagi ya korban saya selanjutnya?

B. Saya pindahkan bangkai parkit itu ke atas kasur. Saya foto lalu memberi narasi “Feodora, burung parkit kesayanganku ini telah berpulang. Dulu ia kupungut di jalan dengan keadaan tak bisa terbang, kurawat ia selama dua minggu, dan selama dua minggu itu banyak berkat turun kepadaku. Saya percaya bila kita baik terhadap hewan maka akan ada karma baik bagi kita. Selamat jalan Feodora.”

Kalau anda ingin tertawa membaca dua opsi di atas, silakan tertawa. Sederhana bukan? Narasi dapat mempermainkan persepsi anda. Padahal kedua narasi itu hanyalah akalakalan saya, manipulasi saja. Justru saya melihat bahwa dengan adanya kasus si pemburu yang pamer kemampuannya bunuh hewan itu, kita dapat melihat bagaimana masyarakat bereaksi terhadap penggunaan bahasa. Seandainya si pemburu itu menuliskan narasi mirip opsi B di atas maka bisajadi ia akan mendapat banyak simpati. Atau gantilah yang ia bunuh adalah tikus-hama, mungkin reaksi yang timbul di masyarakat akan berbeda. Apa gara-gara faktor anak kucingnya? Bisa jadi. Harusnya ada peneliti yang berani mengkaji pengaruh anak kucing terhadap melankolia bangsa.

Saya tahu anak kucing itu wajahnya “lucu”. Apakah anak ular lucu? Apakah anak kecoak lucu? Tunggu, saya baru ingat, kucing mempunyai nilai mistis yang tinggi; bahkan sejak zaman peradaban Mesir Kuno. Jadi itu yang membuatnya spesial? Hmm, tunggu dulu. Apakah babi, anjing, ayam, kuda, kambing, kura-kura, dan ikan teri derajatnya lebih rendah dari kucing? Sebentar, sebentar, kalau patokan kita adalah pada nilai mistis-agamis bahwa kucing (dan sapi) itu “suci”  maka hewan lain boleh dijadikan makanan? Kalau rujukannya itu, tentu boleh dong? Tapi kalau kita berpatokan pada evolusionis yang melihat hewan dari tingkat evolusi serta kepunahannya, maka harusnya yang tidak boleh kita makan adalah daging hiu dan hewan terancam punah lainnya, kalau kucing harusnya boleh. Lalu kita bagaimana? Jangan-jangan kita tidak berpatokan pada keduanya, cuma karena kucing itu lucu dan ramah pada manusia, maka ia jadi kita agung-agungkan. Hmm saya jadi teringat pada komentar negatif terhadap foto kucing korban si pemburu itu, yakni “anak kucing yang tak bersalah itu dibunuh…” Kalau secara gramatikal ada frasa tak bersalah, maka kalau saya tulis “anak kucing yang bersalah itu dibunuh…” bagaimana? Hahahaha.

Saya sih nulis ini hanya sok tahu saja yak, tapi pasti anda akan merasa saya seperti idiot ketika menulis “anak kucing yang bersalah..” Tapi tunggu dulu, kenapa “anak kucing yang tak bersalah..” malah terdengar berterima? Saya seperti merasa ada logika yang tak beres di sini. Untuk menentukan bersalah dan tak bersalah berarti kita harus memakai standar moral dong? Coba perhatikan.

“Budi terlibat tawuran dan membacok musuh dari sekolah lain”

“Budi berhasil melerai perkelahian antar sekolah”

Dalam sekejap kita akan mengatakan bahwa Budi1 bersalah, Budi2 tidak bersalah. Betul tidak? Ya kalau manusia sih gampang saja menentukan standar moral seperti itu. Bagaimana dengan hewan? Atau spesifiknya kucing?

“Kucing Ana mengeluarkan fecesnya di ruang tamu”

“Kucing Ana mengeluarkan fecesnya di kamar mandi”

 

Barangkali anda akan merasa saya bodoh, kucing kan tidak punya akal budi, ya wajar saja kalau berak sembarangan, kan dia hewan. Nah, saya rasa kalau anda memahami katakata saya ini mungkin anda akan tertawa.

Anggap saja tulisan saya ini permainan bahasa. Anda bebas cap saya tidak berperikebinatangan. Tapi kita tergerak karena suatu foto dan narasi yang kita sendiri tidak megetahui kebenarannya, barangkali semata-mata emosi. Ada satu lagi sih, sebenarnya kalau memang kita mao menganut asas keperibinatangan, maka adillah pada semuanya. Kalau setiap hari kita makan ayan goreng tepung di resto cepat saji Barat atau semacamnya, bagaimana mungkin semudah itu kita iba, tapi lupa apa yang telah kita lakukan.

Salam damai. Tidak ada niat untuk ofensif ataupun tendensius, marilah berakal sehat. (kalau anda emosi membacanya, bayangkan tulisan ini sebagai sebuah materi yang dibawakan standup comedian, mungkin akan lucu)

March 1, 2014 at 15:22 1 comment


Visitor

Date of Post

March 2014
M T W T F S S
 12
3456789
10111213141516
17181920212223
24252627282930
31