Archive for September, 2014

Problematika Tontonan Anak

Sebelum memulai tulisan ini, saya harus menjelaskan bahwa saya bukan psikolog anak ataupun peneliti cerita anak. Jadi tulisan yang anda baca adalah interpretasi saya atas fenomena belakangan ini, dan saya bukan seorang expert. Paling tidak saya pernah mengalami masa kanak-kanak, sehingga tidak ada salahnya saya coba mencermati kejadian belakangan ini. Saya berusaha seobyektif mungkin dalam menulis ini, tapi kalau pada akhirnya terlihat subyektif di mata anda, tak masalah. Dan belum tentu apa yang saya tulis di sini semua benar adanya.

Saya percaya bahwa masa kanak-kanak adalah masa yang (seharusnya) menyenangkan, entah itu masa kanak-kanak di tahun 70an, 80an, 90an, sampai 2010an seperti sekarang. Paling tidak di Indonesia seharusnya begitu–terlepas dari segala kisruh politik-ideologi-dansemacamnya pada masa itu–mengingat sudah sedemikian berkembangnya berbagai hiburan untuk anak-anak. Sebagai seorang yang pernah mengalami masa kanak-kanak pada tahun 90an hingga awal 2000an saya menemukan sebuah hal yang menarik. Anak laki-laki yang sezaman dengan saya pastilah ingin menjadi superhero. Generasi kami adalah generasi yang tumbuh dengan sajian superhero. Komik, serial animasi, dan serial lokal, sangat kental dengan elemen superhero (pada dekade sebelumnya juga sama tapi tak semasif generasi kami). Saya rasa tak perlu menyebutkan apa-apa saja superhero itu, tapi yang jelas saya ataupun anda pernah berkhayal menjadi ranger merah, bukan? Anak perempuan generasi tersebut pun saya rasa juga sama, tontonan seperti sailor moon, minky momo, dll adalah warna tersendiri bagi kami.

Saya tak sanggup membayangkan hidup tanpa suguhan seperti itu ketika kecil. Maka dari itu saya bersyukur pernah mengalami masa kanak-kanak yang full of heroes. Tapi bukan berarti anak-anak generasi sekarang tidak memiliki masa kanak-kanak yang inspiratif. Ya, saya mengakui fakta bahwa anak-anak sekarang dibanding generasi 10-15 tahun yang lalu tumbuh dalam lingkungan sosio-kultural yang berbeda. Saya yakin teknologilah yang berperan menghasilkan perbedaan itu. Anak-anak sekarang dengan gadget canggih dan games-gamesnya, sementara kami dengan permainan lapangan dan playstation kuno kami. Alternatif hiburan antara generasi saya dan sekarang jelas jadi berbeda. Ketika tidak punya uang merental PS (ataupun sedang dilarang main PS) kami bisa bermain permainan tradisional, dan patut diingat, serial kartun di sore hari ataupun minggu pagi adalah kewajiban buat kami, tidak bisa dilewatkan. Saya tak tahu bagaimana nasib sekarang, tapi saya jarang menemukan anak-anak bermain permainan tradisional, paling-paling futsal. Lalu tontonan bocah? Opsi tayangannya tak banyak, itupun cenderung diulang-ulang terus.

Sekarang saya ingin memfokuskan tulisan ini pada aspek tontonan karena belakangan isu mengenai tontonan anak sedang banyak diperbincangkan.

Saya akan memulai dengan komentar saya atas artikel-artikel di web ini. (Silakan anda buka dan baca sendiri)

Tepatkah yang dilakukan KPI? Bisajadi ya bisajadi tidak. Perlu ditelaah mengapa KPI mendadak jadi sesensitif ini. Adakah tayangantayangan tersebut benarbenar berpengaruh pada pola prilaku anak? Atau kalau yang dikhwatirkan adalah timbulnya kekerasan akibat rangsangan dari tontonan itu, apakah bisa ditunjukkan data-faktual kejadiannya?

Saya mengapresiasi KPI apabila keputusan mereka didasari atas fakta dari kasus yang benar-benar terjadi, dan tidak hanya asal menghakimi bahwa serial bocah yang menampilkan adegan tarung-darah-kekerasan sudah pasti akan membuat si anak jadi kriminal. Atau bisa dilakukan sampling macam ini. Ambillah contoh generasi saya. Tumbuh dengan puluhan-ratusan serial superhero yang sebagian besar menampilkan–yang mereka sebut–adegan kekerasan. Dari sekian juta anak, seberapa besar pengaruhnya ke tindakan kriminal? Seingat saya kasus kekerasan yang terjadi justru akibat Sm*ckD*wn (tontonan dewasa). Adakah seorang anak yang kemudian jadi pembunuh karena menonton Detective Conan? atau adakah anak yang justru bercita-cita menjadi detektif, kriminolog, peneliti forensik? Mana yang lebih banyak?

Saya sepakat kalau misalkan KPI menginterpretasi tontonan anak sebagai alat pedagogis yang membentuk karakter anak sehingga perlu dijauhkan dari nilai-nilai yang tak baik. Saya setuju bahwa sebagai orang yang lebih dewasa harusnya kita membantu anak-anak tumbuh ke arah yang lebih positif dan baik, serta mengontrol input-input apa saja yang boleh masuk ke mereka. Tapi pertanyaan saya, bagaimana prosesnya sehingga tontonan yang ketika kecil saya jadikan sebagai pembangun motivasi hidup justru dianggap sebagai serial “berbahaya” di masa sekarang? Ya, 10-15 tahun adalah waktu yang panjang, banyak pergeseran nilai yang terjadi. Tapi perlu diingat, ini bukan perkara politik-historis di mana sang pemenang bisa menentukan baik-buruknya suatu masa, ini perkara dunia anak-anak!

Sederhananya saya contohkan lewat permainan anak-anak. Ketika kecil saya biasa bermain bentengan, tak jongkok, polisi maling dan semacamnya. Berdarah, lecet, koreng, keseleo dan luka-luka lainnya pernah saya alami. Lalu kenapa dengan teknologi pengobatan zaman sekarang yang lebih canggih,  anak-anak sekarang seolah diproteksi orangtua dari permainan yang justru ketika kecil dimainkan orangtuanya? Ya, mungkin karena biaya berobat zaman sekarang mahal.

Kembali ke tontonan anak. Kalau melihat kesensitivan censorship di era ini, saya tak akan heran kalau serial ultraman yang melaser musuhnya tiap episode tiba-tiba bisa dicabut hak siarnya. Apalagi serial Samurai X dengan segala pembantaiannya itu. Meskipun, sekali lagi saya yakin, pasti hampir semua anak generasi saya tidak mendadak jadi pembunuh dan kriminal semua akibat menonton serial itu. Kalaupun ada pasti jumlahnya teramatsangat sedikit. Lalu apakah ini berarti generasi anak-anak sekarang adalah generasi ultrasensitif yang ketika melihat adegan kekerasan seketika akan menjadi buas?

Ironisnya adalah seekstrim apapun sensor di tivi, toh ada media internet yang menyediakan segala jenis serial. Anak berusia 8 tahun bisa dengan mudah menonton film sebrutal The Raid 2, atau filmfilm ekstrim lainnya. Meskipun kasus ini hanya dapat terjadi di kota besar dengan akses internet cepat. Sementara censorship yang dilakukan KPI hanya berimbas pada golongan-penduduk di daerah yang minim internet (pelosok) sehingga sarana hiburan satusatunya adalah tivi. Dapat saya simpulkan, censorship tersebut minim efek jika dilihat dalam skala nasional.

Tapi lagi-lagi semua keputusan ada di tangan KPI terkait keefektifan censorship tontonan anakanak jaman sekarang ini. Lagipula saya tak ingin membandingkan dan memujamuja bahwa generasi saya lebih baik dari generasi sekarang. Tidak, samasekali tidak. Setiap generasi mempunya cirikhas dan memorinya masingmasing. Barangkali generasi anakanak sekarang memiliki memori dan cerita yang tidak saya mengerti bagusnya, namun berkesan buat mereka. Lagipula hidup ini dinamis dan akan berubah secara otomatis, bukan?

Saya jadi ingat ketika kecil, ketika itu saya berperan jadi ranger merah, teman saya jadi ranger hijau dan kami purapura berkelahi di kelas, tanpa sengaja saya terlalu kelas memukul dan teman saya menangis. Ayah saya kemudian menasihati saya sambil memberitahu bahwa power ranger hanya bohongbohongan dan tidak boleh memukul orang. Ya, pada akhirnya ayah dan ibu saya tetap membiarkan saya menonton serial-serial superhero itu tapi dengan mendampingi dan menjelaskan iniitu yang tak boleh dilakukan. Saya rasa, banyak anak di generasi saya yang turut dibimbing juga ketika menonton. Lalu dengan segala censorship yang ada sekarang ini, bagaimana peran orangtua dalam membimbing anak? Apa hanya mengandalkan KPI? Bukankah harusnya orangtua turut mendampingi karena itu merupakan kewajiban? Atau jangan-jangan sebenarnya saya salah. Sebenarnya tak ada yang berubah dari anak generasi saya dan generasi sekarang, yang berubah adalah cara orangtua bertanggungjawab mendampingi anak. Tapi justru kita yang seolah menyalahkan si anak, mendiskreditkannya bahwa dia tidak boleh nonton ini, nanti jadi kasar; bahwa dia tak memiliki nalar dan payah. Janganjangan justru kita, orang dewasa, orangtua yang sebenarnya berubah dan mengorbankan anak dengan segala tontonannya, karena tidak mau repot mendampingi mereka. Ah, jangan-jangan iya.

September 30, 2014 at 14:17 Leave a comment


Visitor

Date of Post

September 2014
M T W T F S S
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930